Laman

Cari Blog Ini

Selasa, 27 September 2011

Halal, Haram, dan Subhat

عَنْ أَبِي عَبْدِ اللهِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ، فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ، كَالرَّاعِي يَرْعىَ حَوْلَ الْحِمَى يُوْشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيْهِ، أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ أَلاَ وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ

[رواه البخاري ومسلم]


Dari Abu 'Abdillah An-Nu'man bin Basyir radhiallahu 'anhuma berkata, "Aku mendengar Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan diantara keduanya ada perkara yang syubhat (samar-samar), kebanyakan manusia tidak mengetahuinya, maka siapa yang menjaga dirinya dari yang syubhat itu, berarti ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya, dan siapa yang terjerumus dalam perkara syubhat maka ia telah terjerumus kedalam wilayah yang haram, seperti penggembala yang menggembala di sekitar daerah terlarang maka hampir-hampir dia terjerumus kedalamnya. Ingatlah setiap raja memiliki larangan dan ingatlah bahwa larangan Allah apa-apa yang diharamkan-Nya. Ingatlah bahwa dalam jasad ada segumpal daging jika ia baik maka baiklah seluruh jasadnya dan jika ia rusak maka rusaklah seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati”.

[HR. Bukhari dan Muslim]


Mutiara Hadits:

1. Termasuk sikap wara (Wara’ adalah sikap yang timbul dari rasa takutnya seseorang terhadap perbuatan haram) adalah meninggalkan syubhat.
2. Banyak melakukan syubhat akan mengantarkan seseorang kepada perbuatan haram.
3. Menjauhkan perbuatan dosa kecil karena hal tersebut dapat menyeret seseorang kepada perbuatan dosa besar.
4. Memberikan perhatian terhadap masalah hati, karena padanya terdapat kebaikan fisik.
5. Baiknya amal perbuatan anggota badan merupakan pertanda baiknya hati.
6. Pertanda ketakwaan seseorang jika dia meninggalkan perkara-perkara yang diperbolehkan karena khawatir akan terjerumus kepada hal-hal yang diharamkan.
7. Menutup pintu terhadap peluang-peluang perbuatan haram serta haramnya sarana dan cara kearah sana.
8. Hati-hati dalam masalah agama dan kehormatan serta tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat mendatangkan persangkaan buruk.


Penjelasan:

Hadits ini merupakan salah satu pokok syari’at Islam. Abu Dawud As Sijistani berkata, “Islam bersumber pada empat hadits.” Dia sebutkan diantaranya adalah hadits ini. Para ulama telah sepakat atas keagungan dan banyaknya manfaat hadits ini.


Kalimat, “Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan diantara keduanya ada perkara yang samar-samar” maksudnya segala sesuatu terbagi kepada tiga macam hukum. Sesuatu yang ditegaskan halalnya oleh Allah, maka dia adalah halal, seperti firman Allah (QS. Al-Maa’idah 5: 5), ”Aku halalkan bagi kamu hal-hal yang baik dan makanan (sembelihan) ahli kitab halal bagi kamu” dan firman-Nya dalam (QS. An-Nisaa 4:24), “Dan dihalalkan bagi kamu selain dari yang tersebut itu” dan lain-lainnya. Adapun yang Allah nyatakan dengan tegas haramnya, maka dia menjadi haram, seperti firman Allah dalam (QS. An-Nisaa’ 4:23), “Diharamkan bagi kamu (menikahi) ibu-ibu kamu, anak-anak perempuan kamu …..” dan firman Allah (QS. Al-Maa’idah 5:96), “Diharamkan bagi kamu memburu hewan didarat selama kamu ihram”. Juga diharamkan perbuatan keji yang terang-terangan maupun yang tersembunyi. Setiap perbuatan yang Allah mengancamnya dengan hukuman tertentuatau siksaan atau ancaman keras, maka perbuatan itu haram.


Adapun yang syubhat yaitu setiap hal yang dalilnya masih dalam pembicaraan atau perselisihkan, maka menjauhi perbuatan semacam itu termasuk wara’. Para Ulama berbeda pendapat mengenai pengertian syubhat yang diisyaratkan Rasulullah. Pada hadits tersebut, sebagian Ulama berpendapat bahwa hal semacam itu haram hukumnya berdasarkan sabda Rasulullah, “siapa menjaga dirinya dari yang samar-samar itu, berarti ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya”. Siapa yang tidak menyelamatkan agama dan kehormatannya, berarti dia telah terjerumus kedalam perbuatan haram. Sebagian yang lain berpendapat bahwa hal yang syubhat itu hukumnya halal dengan alasan sabda Rasulullah, “seperti penggembala yang menggembala di sekitar daerah terlarang” kalimat ini menunjukkan bahwa syubhat itu pada dasarnya halal, tetapi meninggalkan yang syubhat adalah sifat yang wara’. Sebagian lain lagi berkata bahwa syubhat yang tersebut pada hadits ini tidak dapat dikatakan halal atau haram, karena Rasulullah menempatkannya diantara halal dan haram, oleh karena itu kita memilih diam saja, dan hal itu termasuk sifat wara’ juga.


Dalam shahih Bukhari dan Muslim disebutkan sebuah hadits dari ‘Aisyah, ia berkata: “Sa’ad bin Abu Waqash dan ‘Abd bin Zam’ah mengadu kepada Rasulullah tentang seorang anak laki-laki. Sa’ad berkata: Wahai Rasulullah anak laki-laki ini adalah anak saudara laki-lakiku, ’Utbah bin Abu Waqash. Ia (‘Utbah) mengaku bahwa anak laki-laki itu adalah anaknya. Lihatlah kemiripannya” Sedangkan ‘Abd bin Zam’ah berkata; "Wahai Rasulullah, Ia adalah saudara laki-lakiku, Ia dilahirkan ditempat tidur ayahku oleh budak perempuan milik ayahku”, lalu Rasulullah memperhatikan wajah anak itu (dan melihat kemiripannya dengan ‘Utbah) maka Rasulullah bersabda: “Anak laki-laki ini untukmu wahai ‘Abd bin Zam’ah, anak itu milik laki-laki yang menjadi suami perempuan yang melahirkannya dan bagi orang yang berzina hukumannya rajam. Dan wahai Saudah, berhijablah kamu dari anak laki-laki ini.” Sejak saat itu Saudah tidak pernah melihat anak laki-laki itu untuk selamanya.


Rasulullah telah menetapkan bahwa anak itu menjadi hak suami dari perempuan yang melahirkannya, secara formal anak laki-laki itu menjadi anak Zam’ah. ‘Abd bin Zam’ah adalah saudara laki-laki Saudah, istri Rasulullah, karena Saudah putrid Zam’ah. Ketetapan semacam ini berdasarkan suatu dugaan yang kuat bukan suatu kepastian. Kemudian Rasulullah menyuruh Saudah untuk berhijab dari anak laki-laki itu karena adanya syubhat dalam masalah itu. Jadi tindakan ini bersifat kehati-hatian. Hal itu termasuk perbuatan takut kepada Allah SWT, sebab jika memang pasti dalam pandangan Rasulullah anak laki-laki itu adalah anak Zam’ah, tentulah Rasulullah tidak menyuruh Saudah berhijab dari saudara laki-lakinya yang lain, yaitu ‘Abd bin Zam’ah dan saudaranya yang lain.


Pada Hadits ‘Adi bin Hatim, ia berkata: “Wahai Rasulullah, saya melepas anjing saya dengan ucapan Bismillah untuk berburu, kemudian saya dapati ada anjing lain yang melakukan perburuan” Rasulullah bersabda, “Janganlah kamu makan (hewan buruan yang kamu dapat) karena yang kamu sebutkan Bismillah hanyalah anjingmu saja, sedang anjing yang lain tidak”. Rasulullah memberi fatwa semacam ini dalam masalah syubhat karena beliau khawatir bila anjing yang menerkam hewan buruan tersebut adalah anjing yang dilepas tanpa menyebut Bismillah. Jadi seolah-olah hewan itu disembelih tanpa Bismillah. Allah berfirman, “Sesungguhnya hal itu adalah perbuatan fasiq” (QS. Al-An’am 6:121)


Dalam fatwa ini Rasulullah menunjukkan sifat kehati-hatian terhadap hal-hal yang syubhat tentang halal atau haramnya, karena sebab-sebab yang masih belum jelas. Inilah yang dimaksud dengan sabda Rasulullah, “Tinggalkanlah sesuatu yang meragukan kamu untuk berpegang pada sesuatu yang tidak meragukan kamu”


Sebagian Ulama berpendapat, syubhat itu ada tiga macam:


1. Sesuatu yang sudah diketahui haramnya oleh manusia tetapi orang itu ragu apakah masih haram hukumnya atau tidak. Misalnya makan daging hewan yang tidak pasti cara penyembelihannya, maka daging semacam ini haram hukumnya kecuali terbukti dengan yakin telah disembelih (sesuai aturan Allah). Dasar dari sikap ini adalah hadits ‘Adi bin Hatim seperti tersebut diatas.


2. Sesuatu yang halal tetapi masih diragukan kehalalannya, seperti seorang laki-laki yang punya istri namun ia ragu-ragu, apakah dia telah menjatuhkan thalaq kepada istrinya atau belum, ataukah istrinya seorang perempuan budak atau sudah dimerdekakan. Hal seperti ini hukumnya mubah hingga diketahui kepastian haramnya, dasarnya adalah hadits ‘Abdullah bin Zaid yang ragu-ragu tentang hadats, padahal sebelumnya ia yakin telah bersuci.

3. Seseorang ragu-ragu tentang sesuatu dan tidak tahu apakah hal itu haram atau halal, dan kedua kemungkinan ini bisa terjadi sedangkan tidak ada petunjuk yang menguatkan salah satunya. Hal semacam ini sebaiknya dihindari, sebagaimana Rasulullah pernah melakukannya pada kasus sebuah kurma yang jatuh yang beliau temukan dirumahnya, lalu Rasulullah bersabda: “Kalau saya tidak takut kurma ini dari barang zakat, tentulah saya telah memakannya”

Adapun orang yang mengambil sikap hati-hati yang berlebihan, seperti tidak menggunakan air bekas yang masih suci karena khawatir terkena najis, atau tidak mau sholat disuatu tempat yang bersih karena khawatir ada bekas air kencing yang sudah kering, mencuci pakaian karena khawatir pakaiannya terkena najis yang tidak diketahuinya dan sebagainya, sikap semacam ini tidak perlu diikuti, sebab kehati-hatian yang berlebihan tanda adanya halusinasi dan bisikan setan, karena dalam masalah tersebut tidak ada masalah syubhat sedikitpun. Wallahu a’lam.

Kalimat, “kebanyakan manusia tidak mengetahuinya” maksudnya tidak mengetahui tentang halal dan haramnya, atau orang yang mengetahui hal syubhat tersebut didalam dirinya masih tetap menghadapi keraguan antara dua hal tersebut, jika ia mengetahui sebenarnya atau kepastiannya, maka keraguannya menjadi hilang sehingga hukumnya pasti halal atau haram. Hal ini menunjukkan bahwa masalah syubhat mempunyai hukum tersendiri yang diterangkan oleh syari’at sehingga sebagian orang ada yang berhasil mengetahui hukumnya dengan benar.

Kailmat, “maka siapa yang menjaga dirinya dari yang syubhat itu, berarti ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya” maksudnya membentengi diri dari perkara yang syubhat.Kalimat, “siapa terjerumus dalam wilayah syubhat maka ia telah terjerumus kedalam wilayah yang haram” hal ini dapat terjadi dalam dua hal:


1. Orang yang tidak bertaqwa kepada Allah dan tidak memperdulikan perkara syubhat maka hal semacam itu akan menjerumuskannya kedalam perkara haram, atau karena sikap sembrononya membuat dia berani melakukan hal yang haram, seperti kata sebagian orang: “Dosa-dosa kecil dapat mendorong perbuatan dosa besar dan dosa besar mendorong pada kekafiran”


2. Orang yang sering melakukan perkara syubhat berarti telah menzhalimi hatinya, karena hilangnya cahaya ilmu dan sifat wara’ kedalam hatinya, sehingga tanpa disadari dia telah terjerumus kedalam perkara haram. Terkadang hal seperti itu menjadikan perbuatan dosa jika menyebabkan pelanggaran syari’at.


Rasulullah bersabda: “seperti penggembala yang menggembala di sekitar daerah terlarang maka hampir-hampir dia terjerumus kedalamnya” ini adalah kalimat perumpamaan bagi orang-orang yang melanggar larangan-larangan Allah. Dahulu orang arab biasa membuat pagar agar hewan peliharaannya tidak masuk ke daerah terlarang dan membuat ancaman kepada siapapun yang mendekati daerah terlarang tersebut. Orang yang takut mendapatkan hukuman dari penguasa akan menjauhkan gembalaannya dari daerah tersebut, karena kalau mendekati wilayah itu biasanya terjerumus. Dan terkadang penggembala hanya seorang diri hingga tidak mampu mengawasi seluruh binatang gembalaannya. Untuk kehati-hatian maka ia membuat pagar agar gembalaannya tidak mendekati wilayah terlarang sehingga terhindar dari hukuman. Begitu juga dengan larangan Allah seperti membunuh, mencuri, riba, minum khamr, qadzaf, menggunjing, mengadu domba dan sebagainya adalah hal-hal yang tidak patut didekati karena khawatir terjerumus dalam perbuatan itu.

Kalimat, “Ingatlah bahwa dalam jasad ada segumpal daging jika ia baik maka baiklah seluruh jasadnya” yang dimaksud adalah hati, betapa pentingnya segumpal daging ini walaupun bentuknya kecil, daging ini disebut Al-Qalb (hati) yang merupakan anggota tubuh yang paling terhormat, karena ditempat inilah terjadi perubahan gagasan, sebagian penyair bersenandung, “Tidak dinamakan hati kecuali karena menjadi tempat terjadinya perubahan gagasan, karena itu waspadalah terhadap hati dari perubahannya”

Allah menyebutkan bahwa manusia dan hewan memiliki hati yang menjadi pengatur kebaikan-kebaikan yang diinginkan. Hewan dan manusia dalam segala jenisnya mampu melihat yang baik dan buruk, kemudian Allah mengistimewakan manusia dengan karunia akal disamping dikaruniai hati sehingga berbeda dari hewan. Allah berfirman, “Tidakkah mereka mau berkelana dimuka bumi karena mereka mempunyai hati untuk berpikir, atau telinga untuk mendengar…” (QS. Al-Hajj 22:46). Allah telah melengkapi dengan anggota tubuh lainnya yang dijadikan tunduk dan patuh kepada akal. Apa yang sudah dipertimbangkan akal, anggota tubuh tinggal melaksanakan keputusan akal itu, jika akalnya baik maka perbuatannya baik, jika akalnya jahat, perbuatannya juga jahat.

Bila kita telah memahami hal diatas, maka kita bisa menangkap dengan jelas sabda Rasulullah, “Ingatlah bahwa dalam jasad ada segumpal daging jika ia baik maka baiklah seluruh jasadnya dan jika ia rusak maka rusaklah seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati”.

Kita memohon kepada Allah semoga Dia menjadikan hati kita yang jahat menjadi baik, wahai Tuhan pemutar balik hati, teguhkanlah hati kami pada agama-Mu, wahai Tuhan pengendali hati, arahkanlah hati kami untuk taat kepada-Mu.

Wallahu a’lam.

sumber : http://www.hadielislam.com/indo/hadits.html?start=5

Kamis, 15 September 2011

Kita Berbeda, Namun Tetap Bersaudara


Suatu hari Imam Syaf'i berdebat dengan ulama tentang permasalahan fiqih yang cukup rumit. Keduanya berbeda pendapat. Perdebatan semakin memanasa. Kedua-duanya tidak bisa memuaskan lawan dialog dengan penjelasan masing-masing. Rona wajah lawan dialog sang imam berubah. Tampaknya dia marah.



Usai berdialog, keduanya pergi meninggalkan mesjid. Imam Syaf'i berpaling ke arah ulama itu, meraih tangannya, dan berkata, "Kita boleh berbeda, namun kita tetap menjadi saudara, bukan?"



Suatu hari beberapa oorang ulama hadits berkumpul di hadapan khalifah. Kemudian salah seorang diantara mereka membacakan sebuah hadits. Pada saat itu ada seorang ahli hadits yang merasa asing dengan hadits yang dibacakan kawannya tersebut. Ia pun berkata,



"Hadis apa itu? Dari mana engkau mendapatkannya? Apakah engkau berdusta atas nama Rasulullah?



Yang ditanya menjawab, "Hadis ini shahih dan benar berasal dari Rasulullah"



'Tidak. Kami tidak pernah mendengar hadis ini, dan kami tidak pernah menghapalnya pula" sahut ahli hadis tadi.



Di majlis itu ada seorang menteri yang bijaksana. Ia pun menoleh ke ahli hadis yang menyanggah itu sambil berkata dengan tenang, "Ya Syaikh, apakah anda hafal seluruh hadis Nabi?"

"Tidak." jawab ahli hadis tersebut.

"Anda hafal setengahnya, barangkali?" tanya menteri raja itu.

"Mungkin" jawab ahli hadis

Menteri itu pun menukas, "Anggaplah hadis yang dibacakan ini adalah salah satu dari hadis yang belum Anda hafal"



Permasalahan pun selesai.



Begitulah akhirnya pendapat diantara mereka diselesaikan secara damai. Persoalan mereka selesai hanya dengan satu ungkapan sederhana: "Masing-masing kita mengerjakan kebaikan"



Dalam hidup ini perbedaaan pendapat adalah wajar. Bila hanya mengikuti pendapat dan kepentingan pribadi, maka perselihan ini tak akan ada ujungya. Sudah semestinya kita saling bantu membantu pada hal yang kita sepakati, dan kita saling bertoleransi pada hal yang kita perselisihkan. Jangan sampai perselisihan ini membawa kepada pertengkaran, permusuhan, dan perpecahan.



Kata Syekh Al-Uraifi: yang menjadi tujuan bukanlah bagaimana kita sepakat, namuna tujuan kita adalah bagaimana kita tidak berselisih.


sumber : http://www.hadielislam.com/indo/kolom/kisah-a-hikmah.html

Selasa, 06 September 2011

Mulia Dan Hina Karena Al-Qur’an


Bahwa Al-Quran merupakan wahyu Allah, bahwa Al-Quran adalah kitab suci umat Islam, bahwa Al-Quran adalah petunjuk bagi bagi kaum muslimin, ini semua sudah kita ketahui sejak pertama kali dikenalkan tentang agama Islam, entah oleh orang tua kita di rumah, ustadz kita di madrasah, atau guru kita di sekolah, atau oleh siapapun yang telah memberikan pengetahuan dasar ini kepada kita.

Namun, yang menjadi pertanyaan –yang ini harus ditujukan kepada masing-masing kita- adalah seberapa dalam kita mengetahui isinya? Seberapa jauh kita mengamalkan perintah dan larangan yang termaktub di dalamnya? Mungkin terlalu ‘berprasangka baik’ jika melontarkan pertanyaan seperti itu; pertanyaan ‘sederhana’ yang bisa jadi lidah kita akan kelu ketika menjawabnya adalah seberapa sering kita membaca Al-Quran? Ya, pertanyaan ‘sederhana’ yang tidak perlu dijawab dengan lisan kita. Tapi sebuah pertanyaan yang sebenarnya menuntut pengamalan kita.

Ketika kita jauh dari kemuliaan
Harus kita akui, bahwa umat Islam saat ini tengah mengalami keterpurukan yang begitu dahsyat. Keterpurukan yang sudah mencapai titik nadir, kemunduran yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah panjang peradaban Islam yang gemilang. Bahkan, begitu lemahnya kekuatan Islam sekarang ini, sampai-sampai umatnya sendiri merasa malu memiliki identitas sebagai seorang Muslim. Na’udzubillah…

Kemunduran ini, keterpurukan ini, problematika yang berat dan kompleks ini, akan terus berlanjut jika kita hanya bisa meratap, jika kita cuma bisa mengeluh. Kebangkitan yang kita tunggu-tunggu, kejayaan yang kita cita-citakan tidak akan datang menghampiri kita, kalau kita hanya duduk berpangku tangan tanpa berbuat apapun. Kemuliaan itu tidak akan kita raih jika kita malah memintanya kepada umat lain. Karena kemuliaan itu sebenarnya ada pada diri umat ini, kejayaan itu sejatinya ada pada diri kaum muslimin sendiri, bukan kaum lain, bukan umat lain.

Maka ketika kita telah mengetahui bahwa sumber kemuliaan itu ada pada diri kita, jangan sampai kita sia-siakan, sekali lagi. Kita telah menyaksikan ketika umat ini menyia-nyiakan sumber kemuliaan itu, maka Allah pun menyia-nyiakannya. Kita telah melihat bagaimana umat ini terperosok dalam kubangan penderitaan yang begitu pedih, ketika kemuliaan itu digadaikan dengan keindahan dunia yang semu. Oleh karena itu, jangan sampai kita mengulanginya. Kita tidak ingin lagi terpuruk, kita tidak ingin kembali dijajah, kita tidak mau terus menerus dalam ketidakberdayaan dan kehinaan.

Maka, langkah awal agar tekad ini bukan hanya impian kosong adalah mengembalikan kemuliaan itu ke dalam ruang-ruang kalbu kita, menancapkan kembali setiap nilai-nilai ilahiah yang terkandung di dalamnya, ke dalam sanubari kita. Supaya kemuliaan itu bisa terwujudkan dalam setiap gerak amal kita.

Kemuliaan itu adalah Al-Quran
Al-Quran. Kita –umat Islam- mengenalnya sebagai kitab suci, kita mengetahuinya sebagai wahyu Allah Jalla wa ‘Ala kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, kita mengetahuinya sebagai petunjuk untuk menjalani kehidupan sementara di dunia ini, kita memahaminya sebagai sumber kemuliaan, sumber kekuatan umat ini.

Sejak pertama ia diwahyukan kepada Nabi penutup –shallallahu ‘alaihi wasallam- ia telah menjadikan umat ini tegak di hadapan kaum musyrikin Quraisy. Ia telah memberikan kekuatan dahsyat bagi para pendahulu umat ini, sehingga dapat tegar menghadapi berbagai ujian dan kesulitan.

Ia telah memuliakan setiap pribadi umat ini, sejak periode awal eksistensinya, terus berlanjut hingga masa di mana kita hidup sekarang ini. Setiap pribadi yang rela bersusah payah memahami makna setiap kata dalam Al-Quran, setiap individu yang tanpa kenal lelah berusaha mewujudkan setiap petunjuk-petunjuknya. Pribadi yang dengan sekuat tenaga meraih kemuliaan yang telah dijanjikan-Nya.

Apakah kita pribadi-pribadi itu? Terlalu percaya diri, jika kita mengatakan ya. Karena kita tahu persis seperti apa diri kita, kita paham betul siapa sesungguhnya diri ini. Begitu jauhnya kita dari pribadi-pribadi ideal itu, begitu tidak layaknya kita dibandingkan –apalagi disandingkan- dengan sosok-sosok mulia itu. Sampai-sampai kita beranggapan bahwa mereka itu hanyalah tokoh fiktif dalam sebuah dongeng, tidak nyata, yang hanya hidup dalam alam khayal kita. Namun sayangnya, mereka nyata. Sosok-sosok itu nyata, bahkan mereka tidak dapat dipisahkan dari sejarah perjuangan umat ini. Merekalah contoh ideal bagi zamannya, juga bagi zaman setelahnya. Kita tidak bisa lagi menyangkal kemuliaan mereka.

Kita tahu mengapa mereka meraih kemuliaan, kita juga tahu sebab mereka berhasil mengukir sejarah hidupnya dengan tinta emas, kita juga tahu begitu besar peran mereka dalam mewujudkan kegemilangan Islam, keindahan Islam, kemuliaan Islam. Kita telah tahu itu. Tapi, sekedar tahu saja ternyata belumlah cukup bagi kita untuk bisa meraih kemuliaan, mengembalikan kejayaan umat ini.

Maka, sudah sepatutnya bagi kita menyimak, merenungi untuk kemudian menerjemahkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ini dalam kehidupan kita, akan pentingnya kita untuk selalu dekat dengan sumber kemuliaan,
إن الله يرفع بهذا الكتاب أقواما ويضع به آخرين
“Sesungguhnya Allah mengangkat derajat suatu kaum dan merendahkannya dengan kitab ini (Al-Quran).” (HR. Muslim no. 1934)

Maka saatnyalah bagi kita sekarang untuk meraih kemuliaan itu, kemuliaan yang Allah Ta’ala janjikan.

Wallahulmusta’an.

ditulis oleh Oleh: Ihsan Athif
sumber : http://www.belajarislam.com/mulia-dan-hina-karena-al-quran/

Jumat, 02 September 2011

Makna Syetan dibelenggu pada bulan Ramadhan


Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairoh Ra., Rasulullah SAW bersabda:
“ Apabila bulan Ramadhan tiba, maka dibuka pintu-pintu surga , ditutup pintu-pintu neraka dan
syetan-syetan dibelenggu ” (HR. Bukhari dan Muslim) Para ulama berbeda pendapat dalam
memahami makna dibelenggu. Ada banyak sekali tafsir tentang makna dibelenggu dalam
hadits di atas. Dari sekian banyak penafsiran, dapat dikelompokkan menjadi dua bagian besar :
Pendapat pertama, dibelenggu mempunyai makna dzahir, yakni makna sebenarnya. Para syetan
diikat atau dirantai disuatu tempat. pendapat ini merupakan pendapat mayoritas ulama.
Lantas muncul pertanyaan yang sangat umum, jika syetan memang dirantai, kenapa masih terjadi
kejahatan di muka bumi pada bulan Ramadhan? Dari kasus ini, ulama pada kategori pertama ini
memiliki perbedaan pendapat yang lebih beragam. Ada yang mengatakan, hanya syetan tertentu
saja yang dirantai, yakni syetan yang paling membangkang, sehingga syetan-syetan lain masih bisa
menggoda manusia. Ada yang mengatakan, syetan telah mengajarkan kepada manusia, sehingga
manusia itu sudah terbiasa berbuat kejahatan. Sehingga meskipun dirantai, masih tetap saja
terjadi kejahatan dimuka bumi. Ada yang mengatakan, syetan tidak mulus dalam melaksanakan
aksinya dibulan Ramadhan, tidak seperti pada bulan lain, karena pada bulan Ramadhan ummat
Islam sedang banyak beramal ibadah. Dan masih banyak pendapat lain yang mencoba
berargumentasi menjawab pertanyaan di atas. Yang paling parah menurut saya adalah yang
mengatakan bahwa makna dibelenggu merupakan makna sebenarnya (dirantai) namun ketika
ditanya mengapa masih ada orang kesurupan jin pada bulan Ramadhan , justru melarang
membicarakan makna dibalik itu demi terselamatkan dari kesesatan.
Pendapat kedua, pendapat yang mengatakan bahwa makna dibelenggu bukan makna
sebenarnya. ungkapan dibelenggu hanyalah kiasan. Dengan berpuasa, kita mencegah dari
mengumbar hawa nafsu. Hawa nafsu terikat, sehingga syetan (yang diartikan sebagai hawa nafsu)
terbelenggu.Pendapat kedua ini sekaligus mampu menjawab pertanyaan dengan lugas, mengapa
pada bulan Ramadhan kejahatan bisa terjadi dan masih ada manusia yang
kerasukan jin. Tentu saja karena makna syetan yang dibelenggu adalah makna kiasan.

Pendapat tersebut banyak muncul belakangan dari berbagai kajian, namun saya belum menemukan
ulama besar yang mengatakannya.Memahami makna syetan. Sebelum kita mencoba mengupas
makna hadits di atas, ada baiknya kita memahami dulu apa sebenarnya yang dimaksud dengan
syetan. Lihat QS. Al- An’am.Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap- tiap nabi itu musuh, yaitu
syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis)
jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan
yang indah-indah untuk menipu (manusia) . (QS. AL-An’ am: 112)
Juga dalam Surat An-Nas : Dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi. yang
membisikkan (kejahatan ) ke dalam dada manusia, dari (golongan ) jin dan manusia.
(QS. AN- Nas:4- 6)
Dari kedua ayat di atas dapat disimpulkan bahwa syetan hanyalah sebutan atau julukan saja bagi
manusia maupun jin yang berperilaku jahat. Syetan bukanlah sebuah makhluk tersendiri di luar
manusia dan jin. Juga belum tentu makhluk menyeramkan seperti yang kita bayangkan selama ini,
karena ternyata manusia yang berlaku jahatpun disebut syetan (tidak sedikit yang ganteng dan
cantik tentunya :) ). Makna yang tepat. Setelah mengetahui makna syetan, kita dapat dengan tepat
menarik kesimpulan, bahwa yang dibelenggu bukanlah sebuah makhluk. Melainkan sifat dan
perilaku jahat pada diri manusia dan jin, jika dan hanya jika manusia tersebut berpuasa dengan
benar. Dengan berpuasa, sifat-sifat dan perilaku jahat (syetan) pada diri manusia akan terbelenggu.
Tidaklah mungkin syetan dirantai disuatu tempat, padahal kata “syetan” sendiri digunakan sebagai
panggilan buat manusia dan jin .Apakah kita melihat manusia jahat dirantai pada bulan Ramadhan?
Tidak bukan? Bahkan yang menjadi ironi adalah tindak kejahatan meningkat dibulan Ramadhan.
Oh, kalo yang di rantai adalah syetan dari golongan jin saja, mungkinkah? Bisa mungkin bisa tidak,
tapi dari konteks hadits di atas tidak. Pertama, dalam hadits tidak disebutkan syetan dari golongan
jin. Kedua, syetan, baik dari manusia maupun jin bisa saja bertaubat dan menjadi makhluk
yang baik. Jika dirantai, bagaimana dia mau melakukan puasa Ramadhan, melakukan sunnah sahur
dan ibadah lainnya? Fakta inilah yang membuat saya menyimpulkan bahwa makna dibelenggu
bukanlah makna sebenarnya. Jika dari pemahaman syetan saja sudah salah, maka memahami makna
hadits tentang syetanpun akan salah. Saya bukanlah seorang ahli hadits. Saya juga tidak bermaksud
lancang menafsirkan sebuah hadits. Tulisan ini hanya buah ketidaksetujuan saya dengan tafsiran
yang ada. Jika tulisan ini benar, dari Allah jualah datangnya. Jika tulisan ini salah, kesalahan datang
dari diri saya yang dhoif ini.
Published
with Blogger-droid v1.7.4